Tsunami Tak Mampu Rusak Mental Warga Jepang

Tidak ada warga yang mengambil hak orang lain. Mereka saling membantu menghadapi bencana.

VIVAnews -- Gempa 9,0 skala Richter dan tsunami menimbulkan krisis di Jepang, bahkan yang terburuk paska Perang Dunia II. Belum lagi ditambah meledaknya Pembangkit
Listrik Tenaga Nuklir, Fukushima. Negeri Sakura di ambang bencana nuklir.


Bagaimana masyarakat Jepang menghadapi bencana ini? Seperti dimuat situs CNN, makanan dan air saat ini menjadi barang langka di Jepang. Listrik di zona tsunami nyaris tak ada. Orang-orang yang selamat kesulitan mencari kabar orang-orang tersayang yang masih hilang.

Namun, berbeda dengan kondisi bencana di negara lain -- di mana terjadi kerusuhan, ledakan emosi publik yang marah dan berduka -- warga Jepang nampak tenang meski berkabung. Masyarakat dengan sabar berdiri, antre selama berjam-jam dengan teratur
demi mendapat beberapa botol air.

Di wilayah Sendai, yang paling parah terdampak tsunami bisa terlihat, bagaimana gelombang dahsyat itu merusak struktur fisik bangunan, tapi bukan mental mereka.

Di toko-toko terlihat barisan panjang korban tsunami menanti jatah mereka. Tak ada yang memerintahkan mereka berbaris rapi, mereka antre dengan sadar. Para pembeli dibatasi hanya boleh membeli 10 produk makanan atau minuman. Tak ada yang mengeluh, tak ada yang curang. Menurut salah satu warga, Mitsugu Miyagi, tak ada satupun orang yang berhak mengeluh dalam kondisi ini.

Militer dan petugas penolong darurat kini disiagakan di wilayah tsunami atau sekitar PLTN Fukushima. Saat bantuan datang, para relawan dan kelompokm masyarakat mengorganisasi tempat penampungan dan distribusi makanan.

Di Hotel Monterey, Sendai, dua chef lengkap dengan seragam dan topi tingginya membagikan sup panas untuk sarapan. Siapapun yang lewat di depan hotel itu dibagi.
Untuk beberapa orang, mungkin itulah sup panas pertama yang mereka nikmati paska
tsunami.

Namun, yang mengharukan, orang-orang yang mengantre sup itu hanya mengambil satu mangkuk saja. Tak ada yang balik lagi mengantre untuk sup ke dua, atau berikutnya. Sebab, bagi mereka: itu tidak adil.

Rasa kebersamaan tetap ada, bahkan bagi mereka yang kehilangan rumah dan seluruh
harta benda. Sekolah Dasar Shichigo kini ditinggali ratusan korban tsunami. Tak ada keluarga yang menuntut tempat lebih luas dari yang lain. Aturan, sepatu harus ditanggalkan di atas selimut agar sanitasi terjaga, ditaati.  Makanan dibagi seadil mungkin. Selain tawa dan tangisan anak kecil, nyaris tak ada suara lain yang terdengar.

Salah satu korban bencana, Mari Sato mengaku merasa terluka. Ia tak bisa menahan tangis saat melihat foto satelit yang menggambarkan kondisi bekas rumah tinggalnya. Ia terkenang atap merah muda rumahnya. "Saya tidak pernah membayangkan tsunami bias melakukan ini," kata dia, bercucuran air mata. Namun, cepat-cepat ia minta maaf atas sikapnya yang emosional.


Baca Juga :



Comments (0)